Remaja 80 - Manajemen Cinta ala Nabi SAW: Solusi Mengatasi Krisis Kasih Sayang
KRISIS CINTA dan kasih sayang yang mewarnai
relasi antarumat Islam dalam berbagai segi dan bidang kehidupan, seolah
menunjukkan bahwa Islam bukan agama yang mengajarkan pentingnya menyintai dan
mengasihi sesama. Umat Islam pun seakan tidak memiliki figur sentral yang mampu
meneladankan ketulusan untuk saling menyintai, mengasihi serta menyayangi.
Akibatnya, di antara mereka, muncullah perasaan saling curiga, iri,
pengkhianatan, saling merendahkan, memfitnah, menggibah, mendengki, mendendam,
bertikai, menzalimi, menindas, bahkan saling mencelakakan.
Munculnya
gejala krisis cinta dan kasih sayang yang melanda kehidupan banyak kaum
muslimin, kerap terjadi di mana-mana. Dari mulai di ruang keluarga, hingga di
tempat-tempat kerja. Tidak terkecuali, di institusi-institusi yang mengusung
label Islam, gejala krisis kasih sayang juga sering mewarnai hubungan
antarpersonilnya. Sungguh ironi dan menyedihkan. Bagaimana mungkin ukhuwah
islamiyahyang kerap digembar-gemborkan itu bisa terwujud secara solid dan
kokoh, jika krisis ini tetap terjadi seolah tiada henti. Padahal Rasulullah
SAW, pecinta agung yang mulia menegaskan:
“Demi zat yang jiwaku ada dalam genggaman-Nya, kamu sekalian tidak akan masuk
surga sebelum beriman, dan kamu sekalian tidaklah beriman sebelum saling
mencintai”(HR. Muslim)
Lemahnya Peneladanan Terhadap Nabi SAW
Menggejalanya
krisis cinta dan kasih sayang di kalangan komunitas umat Islam, tentunya
bukan dikarenakan ajaran yang terkandung dalam agama yang dianutnya, dan bukan
pula ketiadaan model yang patut dijadikan panutan. Persoalannya adalah lemahnya
pengamalan terhadap Islam, serta “ketidakmauan” umat untuk betul-betul
meneladani sang pecinta agung yang mulia, Nabi Muhammad SAW. Utamanya dalam
konteks ini adalah keteladanan dalam menyintai, mengasihi, dan/atau menyayangi
sesama.
Allah SWT
mengutus Nabi Muhammad SAW sebagai figur manusia terbaik. Beliau telah
membuktikan kemampuannya dalam membawa manusia dari keterbelakangan pemikiran
dan kerendahan akhlak menuju pencerahan dan kemuliaan. Dari kehidupan yang
diselimuti kebencian, dendam, dan angkara murka, menuju kehidupan yang
diberkahi dengan memaafkan, cinta dan kasih sayang.
“Dan tidaklah Kami mengutus kamu (Muhammad), melainkan untuk (menjadi)
rahmat bagi semesta alam.” (QS.
Al-Anbiya’ 107).
Ada yang
mengartikan bahwa “rahmat” di sini adalah pencurah kasih sayang.
Diutusnya Nabi merupakan bentuk kasih sayang Allah kepada seluruh manusia.
Rasulullah adalah manusia yang menebarkan kasih sayang.
“Siapa yang tidak sayang pada manusia, maka tidak akan disayang oleh
Allah.” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, Baihaqi,
dan Bukhari)
Manajemen Cinta = Upaya Meraih Kesuksesan & Kebahagiaan
Dalam semua
dimensi kehidupan, Nabi Muhammad SAW secara cukup gamblang telah menyontohkan
bagaimana seharusnya kita sebagai umatnya, bersikap dan berperilaku agar rahmat
dan keberkahan hidup menyertai. Dari mulai ketika menjalani kehidupan dalam
ranah keluarga dan kekerabatan, hubungan antara “tuan” dengan “pembantu”,
atasan dengan bawahan, antarrekan (mitra) kerja atau bisnis, kehidupan
bertetangga, persahabatan, dalam relasi sosial dengan non-muslim, sebagai
pemimpin dakwah, militer, maupun sebagai pemimpin sosial dan politik (umat).
Ketika mengkaji
kehidupan Rasul mulia di semua sisi kehidupannya itu, tampak sekali bahwa
beliau menjadikan cinta dan kasih sayang sebagai landasannya. Tulusnya cinta
dan besarnya kasih sayang beliau, tercurah kepada siapa pun yang menjalin
relasi dengannya. Lebih dari itu, manusia agung ini kerap menunjukkan kasih
sayang terhadap orang-orang yang memusuhi serta menzaliminya. Malahan, di balik
ketegasan memberikan “hukuman” terhadap musuh-musuh Islam, acapkali beliau pun
memperlihatkan kasih sayangnya terhadap mereka. Hal ini antara lain tampak dari
kemauan Sang Nabi untuk mengampuni bahkan mengangkat derajat mereka.
Mengingat
begitu tulusnya cinta atau kasih sayang yang mendasari setiap pergaulan Nabi,
termasuk kemampuannya menghadapi beragam persoalan melalui pendekatan perasaan
tertinggi kemanusiaan ini, maka dapat dikatakan bahwa beliau telah menerapkan
“manajemen cinta”.
Banyak sekali
para pakar yang mendefinisikan pengertian “manajemen” (management).
Namun dalam pengertian sederhana, “manajemen” dapat dipahami sebagai “seni melaksanakan
dan mengatur”.
Kemudian,
“cinta”. Secara psikologis, cinta adalah sebuah emosi dari kasih sayang. Dalam
konteks filosofi, ada yang berpendapat bahwa cinta merupakan sifat baik yang
mewarisi semua kebaikan, perasaan belas kasih dan kasih sayang. Pendapat
lainnya, cinta adalah sebuah aksi/kegiatan aktif yang dilakukan manusia
terhadap objek lain, berupa pengorbanan diri, empati, perhatian, memberikan
kasih sayang, membantu, menuruti perkataan, mengikuti, patuh, dan mau melakukan
apapun yang diinginkan objek tersebut.
Erich Fromm,
seorang psikolog Jerman yang konon dikenal ahli dalam masalah cinta
menjelaskan, bahwa kebutuhan manusia yang paling dalam adalah kebutuhan untuk
mengatasi keterpisahannya dan meninggalkan penjara kesendiriannya. Kegagalan
untuk mengatasi keterpisahan ini yang akan menyebabkan gangguan kejiwaan. Fromm
mengungkapkan idenya mengenai cinta sebagai jawaban dari masalah tersebut.
Karena “cinta”
yang dimaksud adalah cinta yang islami, tentunya pemahaman dari pengertian
“cinta” ini juga harus berdasarkan nilai-nilai Islam. Inilah pemahaman cinta
yang lebih luas, mendalam, serta bersifat hakiki.
Syaikh Ibnul
Qayyim Al-Jauziyah, seorang ulama dari Damaskus di abad ke-7, melihat pemahaman
cinta dalam ruang lingkup yang luas. Bahkan beliau mengemukakan adanya 6
peringkat cinta, yang dua di antaranya adalahshababah dan ‘itfh. Shababah yaitu
cinta yang mampu melahirkan ukhuwah islamiyah. ‘Itfh (simpati)
adalah rasa cinta yang memunculkan kecenderungan untuk menyelamatkan dan
membantu sesama.
Nah, dengan
demikian, kalau mengacu pada kedua pemahaman tersebut; “manajemen” dan “cinta”,
maka “manajemen cinta” yang dimaksud adalah seni melaksanakan dan mengatur
hubungan (antarmanusia) yang dilandasi oleh keinginan untuk melahirkan ukhuwah
islamiyah, membantu serta menyelamatkan sesama.
Di dalam cinta
atau kasih sayang yang diteladankan Nabi SAW terkandung nilai-nilai produktif
dan konstruktif seperti: menyebarkan salam, menjaga dan melindungi kehormatan
manusia, mengokohkan keimanan, berlaku adil, sabar, pemaaf, tegas, ulet,
memberikan pendidikan dan bimbingan, mempererat hubungan, menghormati, rendah
hati, senang membantu, dermawan, memuliakan, memberikan rasa nyaman,
menunjukkan perhatian, menjaga nama baik, mendoakan kebaikan, tabah, konsisten,
berkemauan kuat, menjauhi sikap egois, memberikan kepercayaan, berani, menjaga
citra diri, memotivasi, dan masih banyak lagi. Semua nilai, sifat, sikap, atau
perilaku yang baik-baik itu adalah cerminan atau konsekuensi dari rasa cinta
terhadap kebenaran dan/atau kasih sayang terhadap sesama.
Dalam
buku “Manajemen Cinta Sang Nabi SAW” (2011), secara cukup
gamblang diungkapkan langkah-langkah teoritis dan praktis dalam
mengimplementasikan nilai-nilai cinta atau kasih sayang sesuai kapasitas dan
peran kita dalam semua aspek kehidupan. Baik dalam kehidupan
berumahtangga dan berkeluarga, sosial, bisnis, dakwah, militer, hingga politik.
“Manajemen
Cinta Sang Nabi SAW” juga memaparkan beragam teori pengembangan diri (self
development) dan kepemimpinan (leadership) yang menjadi rahasia
kesuksesan Nabi Muhammad SAW di semua aspek kehidupannya. “Manajemen Cinta Sang
Nabi” adalah sumber inspirasi dan motivasi dalam memenej kehidupan pribadi dan
sosial kita agar meraih kesuksesan dan kebahagiaan tanpa batas.
*Penulis buku “Manajemen Cinta Sang Nabi SAW” & Staf
Riset Prophetic Leadership and Management Center, di Jakarta.
Komentar
Posting Komentar