Karyawan Loyal itu..
Belakangan
saya lagi bingung sama makna dari kata
loyalitas, khususnya dilingkungan kerja. Banyak yang menilai kalau loyalitas
kerja adalah seberapa lama dan banyaknya waktu serta tenaga yang kita curahkan
untuk pekerjaan tanpa mengharap imbalan apapun dari perusahaan. Nah,
persoalannya muncul ketika kita melakukan secara tidak suka rela alias
terpakasa atau dalam tekanan atasan secara tidak langsung.
Dari sekian banyak
calon karyawan yang saya wawancarai, mayoritas dari mereka menyebutkan jam
kerja yang tidak jelas sebagai alasan resign, merasa bahwa jam loyalitas itu
adalah basa basi yang tidak tahu apa tujuan dan dasar hukumnya. Artinya adalah
bahwa tidak ada sangsi profesi yang dikenakan apabila tidak di jalankan, tapi
akan ada sanksi sosial yang di terima bila kita mungkir menunaikannnya. Banyak
dari mereka yang melakukan semata-mata lantaran tradisi yang dilakukan oleh
senior mereka. Lucunya, dari fakta dilapangan yang saya temui, para senior itu
sendiri pun sebetulnya merasa terpenjara oleh budaya sesat ini. Para senior
terpaksa melakukan loyalitas jam kerja semata-mata demi menjaga wibawa kepada
anak buahnya atau keryawan baru. Kacau bukan?
Dari pemahaman saya, kata loyaitas
itu berarti kesetiaan. Sama halnya kita mencintai seseorang dalam berbagai
situasi dan kondisi tanpa syarat serta tanpa berharap akan adanya balasan. Nah, disinalah yang banyak atasan atau
business owner luput memperhatikan, bahwa adanya kesetiaan bermula dengan
tumbuhnya rasa cinta. Cinta itu sendiri merupakan sebuah proses interaksi
antara kedua belah pihak yang telah sama-sama membangun rasa saling percaya.
Percaya atas apa? Percaya atas kesamaan tujuan pastinya. Sama dengan halnya
proses karyawan terhadap perusahaan. Perusahaan
harus percaya bahwa karyawan tersebut adalah seorang yang punya
integritas dan akan berguna membawa perusahaan mencapai visinya. Pun demikian
sebaliknya, karyawan harus percaya bahwa perusahaan bisa menjadikannya sebagai
pribadi yang berkembang baik dari segi pengetahuan, kemapuan, penghasilan hingga
kepribadian (spriritual). Bila telah terbentuk rasa saling percaya tadi, maka
hubungan keduanya akan lebih dalam lagi.
Mungkin yang sebelumnya hanya
sebatas logika dan akal sehat seperti yang tertuang dalam kontrak kerja, job
description hingga jenjang karir compensation benefit, berkembang kebidang lain yang mulai
melibatkan perasaan atau emosi.
Karyawan mulai mau melakukan hal-hal
yang tidak ada dalam job desc-nya, lembur hingga larut malam, menjual tanpa
memikikan komisi dan banyak lagi lainnya. Disisi lain perusahaan pun tidak
segan masuk ke ranah yang lebih privat lagi yang jelas-jelas bukan domain
profesionalisme. Misalnya dari memberikan fasilitas pribadi, membantu pinjaman
biaya nikah, melahirkan istri, uang muka motor bahkan rumah sekalipun. Padahal
itu semua bukan tujuan dari sebuah perusahaan diirikan.. ya kan? Lha wong nikah
sing penak yo awakmu, melahirkan yang berbuat kamu, rumah yang pakai siapa..Belakangan saya lagi bingung sama
makna dari kata loyalitas, khususnya di lingkungan kerja. Banyak yang menilai
kalau loyalitas kerja adalah seberapa lama dan banyaknya waktu serta tenaga
yang kita curahkan untuk pekerjaan tanpa mengharapkan imbalan apapun dari
perusahaan.
Nah, persoalannya muncul ketika kita melakukannya secara tidak suka
rela alias terpaksa atau dalam tekanan atasan secara tidak langsung. Dari
sekian banyak calon karyawan yang saya wawancarai, mayoritas dari mereka yang
menyebutkan jam kerja yang tidak jelas sebagai alasan resign, merasa bahwa jam
loyalitas itu adalah basa basi yang tidak tahu apa tujuan dan dasar hukumnya.
Artinya adalah bahwa tidak ada sanksi profesi yang dikenakan apabila tidak
dijalankan, tapi akan ada sanksi sosial yang diterima bila kita mangkir
menunaikannya. Banyak dari mereka melakukannya semata-mata lantaran tradisi
yang di lakukan oleh para senior mereka. Lucunya, dari fakta di lapangan yang
saya temui, para senior itu sendiri pun sebetulnya merasa terpenjara oleh
budaya sesat ini. Para senior terpaksa melakukan loyalitas jam kerja
semata-mata demi menjaga wibawa kepada para anak buahnya atau karyawan baru.
Kacau kan?
Dari pemahaman saya, kata loyalitas itu sendiri berarti
kesetiaan. Sama halnya ketika kita mencintai seseorang dalam berbagai situasi
dan kondisi tanpa syarat serta tanpa berharap akan adanya balasan. Nah, disini
lah yang banyak para atasan atau business owner luput memperhatikan, bahwa
adanya kesetiaan bermula dengan tumbuhnya rasa cinta. Cinta itu sendiri
merupakan hasil dari sebuah proses interaksi dari dua belah pihak yang telah
sama-sama membangun rasa saling percaya. Percaya atas apa? Percaya atas adanya
kesamaan tujuan pastinya. Sama dengan halnya proses karyawan terhadap
perusahaan. Perusahaan harus percaya bahwa karyawan tersebut adalah seseorang
yang punya integritas dan akan berguna membawa perusahaan mencapai visinya.
Pun
demikian sebaliknya, karyawan harus percaya bahwa perusahaan bisa menjadikannya
sebagai pribadi yang berkembang baik dari segi pengetahuan, kemampuan,
penghasilan hingga kepribadian (spritiual). Bila telah terbentuk rasa saling
percaya tadi, maka hubungan keduanya akan lebih dalam lagi. Dari yang
sebelumnya hanya sebatas logika dan akal sehat seperti yang tertuang dalam
kontrak kerja, job description hingga jenjang karir dan compensation benefit,
berkembang ke bidang lain yang mulai melibatkan perasaan atau emosi. Karyawan
mulai mau melakukan hal-hal yang tidak ada di dalam job desc nya, lembur hingga
larut malam, menjual tanpa memikirkan komisi dan banyak lagi lainnya. Di sisi lain, perusahaan pun tidak segan masuk ke
ranah yang lebih privat lagi yang jelas-jelas bukan domain profesionalisme.
Dari memberi fasilitas pribadi, membantu pinjaman biaya nikah, melahirkan
istri, uang muka motor atau bahkan rumah sekalipun. Padahal itu semua bukanlah
tujuan dari sebuah perusahaan didirikan..ya kan..? Lha wong nikah sing penak yo
awakmu, melahirkan yang berbuat kamu, rumah yang pake siapa..? :)
Balik ke loyalitas kerja tadi. Bagi saya, kesetiaan itu
haruslah diperlihatkan dengan tindakan. Bekerjalah semaksimal mungkin selama jam
kerja, bukan dengan menunda kepulangan dalam bekerja. Karena kalau begitu,
biasanya yang tertinggal dalam diri kita bukan loyalitasnya, melainkan
kebiasaan menundanya. Kita jadi cenderung untuk mulai perhitungan, "toh
nanti juga saya tidak bisa langsung pulang, jadi saya kerjakan nanti
sajalah". Banyak kan yang begitu.. Celakanya, di perusahaan saya mulai ada
gejala bahwa siapapun yang pulang tepat waktu akan di nilai negatif. Padahal
jam kerjanya sudah luar biasa panjang jika dibandingkan perusahaan lain
(mungkin). Saya sendiri dalam menilai kinerja karywan untuk di promosikan,
selalu mencantumkan aspek loyalitas berdampingan integritas sebagai parameter
teratas. Tapi sudah barang tentu bukan loyalitas yang selama ini telah salah
kaprah tadi loh ya. Loyalitas yang saya pakai adalah seberapa jauh dan lama
orang tersebut akan bertahan dalam perusahaan ini sekalipun banyak headhunter
yang menawarkan angin sorga kepadanya.
Oh ya di industri saya ini SDM mahal
banget harganya. Bahkan sortiran dari tahap interview saja ada yang mau
nampung, operator yang kita pecat aja masih bisa loh jadi kepala shift di
tempat lain. Kebayang kan gimana karyawan yang bagus? Segitu mahalnya tenaga
kerja di industri saya sekarang.
Memang hal-hal di luar konteks kinerja, faktor manusia
sangatlah besar peranannya dalam memberikan penilaian. Jadi buat saya, tidak
ada masalah dengan para karyawan yang pulang tepat waktu. Selama mereka datang
tepat waktu dan menyelesaikan pekerjaan tepat waktu. Kalau pekerjaan telah
selesai dan sudah datang waktunya untuk boleh pulang, ya pulang saja. Toh saya
yakin kebiasaan tepat waktunya akan menjalar ke segala hal yang dijalaninya.
Hidup juga bakal lebih bermanfaat buat semua, bisa buat belajar, sosialisasi,
langsung istirahat, ketemu anak, main sama isteri di rumah (eh kebalik gak
sih?) Nah buat para atasan, ayolah balik lagi ke paham kalau People are totally
different.
Tiap orang itu unik. Mereka punya karakter yang beda, kebutuhan yang
beda, cara kerja yang beda, motivasi
yang beda hingga persoalan hidup yang beda juga. So, how we treat them juga
haruslah berbeda. Sejak kapan kita bisa memaksakan orang lain supaya bisa
menjadi sama persis seperti kita? Maka jadikanlah faktor kinerja dan
profesionalisme sebagai tolok ukur standar yang kita gunakan dalam memberi
penilain di lingkungan kerja, baru kemudian ke aspek personal.
Ingat, loyalitas adalah tindakan bukan sekedar formalitas.
Salam fotokopi.
Komentar
Posting Komentar